I.
Definisi Sabun dan Detergen
A. Definisi
Detergen
Deterjen
merupakan campuran berbagai bahan, juga terbuat dari bahan-bahan turunan minyak
bumi yang digunakan untuk membantu pembersihan. Deterjen adalah garam dari
sulfonat atau sulfat berantai panjang dari natrium (RSO3-
Na+ dan ROSO3-Na+). Deterjen
mempunyai keunggulan dalam hal tidak mengendap bersama logam dalam air (Senja
2010).
2 RSO3Na
+ Ca2+ (RSO3)2
Ca + 2 Na2+
Detergen
merupakan garam Natrium dari asam sulfonat.
Rantai hidrokarbon, R, di dalam
molekul sabun di atas mungkin adalah rantai hidrokarbon yang lurus atau rantai
hidrokarbon yang bercabang.
Bahan penyusun deterjen
Dalam deterjen terdapat beberapa bahan penyusun, di antaranya:
1. Surfaktan
Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang
mempunyai gugus yang berbeda yaitu hidrofilik (suka air), gugus yang tertarik
pada senyawa polar dan hidrofobik (suka lemak), gugus yang tertarik pada
senyawa non polar, Surfaktan berfungsi menghilangkan atau mengendapkan kotoran
dalam larutan dan sebagai pengemulsi (Timurti Betty Cahya dkk. 2009).
Surfaktan yang digunakan pada deterjen adalah jenis surfaktan anionik yaitu
LAS (Linier Alkil Benzena Sulfonat). Surfaktan anionik dalam deterjen ini
berfungsi sebagai zat pembasah yang akan masuk ke dalam ikatan antara serat
kain dan kotoran yang menyebabkan kotoran menjadi menggulung sehingga menjadi
besar dan akhirnya terlepas dari serat kain.
2. Builder
(pembentuk)
Builder (pembentuk) berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci surfaktan
dengan cara menonaktifkan mineral penyebab kesadahan air. Selain itu builder
juga dapat membantu menciptakan kondisi keasaman yang tepat agar proses
pembersihan dapat berlangsung lebih baik serta membantu mendispersikan dan
mensuspensikan kotoran yang telah dilepas.
Contoh dari builder, antara lain:
a. Fosfat :
Sodium Tri Poly Phosphate (STPP)
b. Asetat :
Nitril Tri Acetate (NTA), Ethylene Diamine Tetra Acetate (EDTA)
c. Silikat :
Zeolit
d. Sitrat :
Asam sitrat
Builder yang biasa dimanfaatkan di dalam deterjen adalah fosfat dalam
bentuk senyawaan Sodium Tri Poly Phospate (STPP). Fosfat mempunyai fungsi
penting dalam deterjen yaitu sebagai softener air. Fosfat juga mampu menurunkan
kesadahan air dengan cara mengikat ion Ca2+ dan Mg2+.
3. Filler
(pengisi)
Filler (pengisi) adalah bahan tambahan deterjen yang tidak meningkatkan
daya cuci, tetapi menambah kuantitas berat jenis dari deterjen. Contoh filler
yang biasa digunakan adalah natrium sulfat.
4. Additives
(aditif)
Aditif adalah bahan tambahan untuk pembuatan produk lebih menarik, misalnya
pewangi, pelembut, pemutih dan pewarna yang tidak berhubungan langsung dengan
daya cuci deterjen. Aditif ditambahkan juga untuk mengkomersialkan produk.
Contoh aditif, antara lain: enzim, boraks, natrium klorida dan Carboxy Methy
cellulose (CMC) digunakan agar kotoran yang telah dibawa oleh deterjen ke dalam
larutan tidak kembali lagi ke bahan cucian pada waktu mencuci (anti
redeposisi).
B.
Definisi Sabun
Sabun adalah suatu gliserida (umumnya C16 dan C18 atau karboksilat suku
rendah) yang merupakan hasil reaksi antara ester (suatu derivat asam alkanoat
yaitu reaksi antara asam karboksilat dengan alkanol yang merupakan senyawa
aromatik dan bermuatan netral) dengan hidroksil dengan residu gliserol (1.2.3 –
propanatriol). Apabila gliserol bereaksi dengan asam – asam yang jenuh (suatu
olefin atau polyunsaturat) maka akan terbentuk lipida (trigliserida atau
triasilgliserol).
Gliserida (lelehan lemak sapi atau lipida lain) dididihkan bersama – sama
dengan larutan lindi (dulu digunakan abu
kayu karena mengandung K-karbonat tapi sekarang NaOH) terjadi hidrolisis
menjadi gliserol dan garam Sodium dari asam lemak, setelah sabun terbentuk
kedalamnya ditambahkan NaCl agar sabun mengendap dan dapat dipisahkan dengan
cara penyaringan. Gliserol, lindi dan NaCl berlebih dipisahkan dengan cara
destilasi. Sabun yang masih kotor dimurnikan dengan cara pengendapan berulang –
ulang (represipitasi). Akhirnya ditambahkan zat aditif (batu apung, parfum dan
zat pewarna)
Jenis – jenis Sabun :
1.
Sabun keras atau sabun cuci.
Dibuat dari lemak dengan NaOH,
misalnya Na – Palmitat dan Na – Stearat.
2.
Sabun lunak atau sabun mandi.
Dibuat dari lemak dengan KOH,
misalnya K-Palmitat dan K-Stearat
Suatu molekul sabun mengandung suatu rantai hidrokarbon panjang plus ujung
ion. Bagian hidrokarbon dari molekul itu bersifat hidrofobik dan larut dalam
zat – zata non polar, sedangkan ujung ion bersifat hidrofilik dan larut dalam
air. Karena adanya rantai hidrokarbon, sebuah molekul sabun secara keseluruhan
tidaklah benar – benar larut dalam air. Namun sabun mudah tersuspensi dalam air
karena membentuk misel (micelles), yakni kumpulan (50 – 150) molekul sabun yang
rantai hidrokarbonnya mengelompok dengan ujung – ujung ionnya menghadap ke air.
II.
Klasifikasi
Deterjen dan Sabun
Berdasarkan senyawa organik yang
terkandung di dalamnya, deterjen dikelompokkan menjadi :
A.
Deterjen Anionik
Deterjen jenis ini merupakan deterjen yang mengandung surfaktan anionik
yang dinetralkan dengan alkali. Deterjen ini akan berubah menjadi partikel
bermuatan negatif jika dilarutkan dalam air. Biasanya digunakan untuk pencuci
kain. Kelompok utama dari deterjen anionik, antara lain: rantai panjang
(berlemak) alkohol sulfat, alkil lauril sulfonat dan olefin sulfat dan
sulfonat.
B.
Deterjen Kationik
Deterjen jenis ini merupakan deterjen yang mengandung surfaktan kationik.
Deterjen ini akan berubah menjadi partikel bermuatan positif jika dilarutkan
dalam air. Biasanya digunakan pada pelembut (softener). Selama proses
pembuatannya tidak dilakukan netralisasi tetapi bahan-bahan yang mengganggu
dihilangkan dengan asam kuat untuk netralisasi. Zat aktif permukaan kationik
mengandung kation rantai panjang yang memilki sifat aktif pada permukaannya.
Kelompok utama dari deterjen kationik, antara lain:
1.
Amin Asetat (RNH3)OOCCH3 (R = 8-12 atom C)
2.
Alkil trimetil amonium klorida (RN(CH3))3+
(R=8-18 atom C)
3.
Dialkil dimetil amonium klorida (R3N(CH3)2)+Cl-
(R = 8-18 atom C)
4.
Lauril dimetil benzil amonium klorida (R2N(CH3)2CH2CH2CH6)Cl
C.
Deterjen Nonionik
Deterjen jenis ini merupakan senyawa yang tidak mengandung molekul ion
sementara, kedua asam dan basanya merupakan molekul yang sama. Deterjen ini
tidak akan berubah menjadi partikel bermuatan jika dilarutkan dalam air tetapi
deterjen ini dapat bekerja di dalam air sadah dan dapat mencuci dengan baik .
Kelompok utama dari jenis deterjen ini, antara lain:
Etilen
oksida atau propilen oksida dan polimer polioksistilen
HO (CH2CH2O)a
(CH(CH3)CH2O)b (CH2CH2O)cH
D.
Deterjen Amfoterik
Merupakan deterjen yang mengandung kedua kelompok kationik dan anionik.
Deterjen ini dapat berubah menjadi partikel positif, netral, atau negatif
bergantung pada pH air yang digunakan. Biasanya digunakan untuk pencuci
alat-alat rumah tangga. Kelompok utama dari deterjen jenis ini, antara lain:
Natrium LaurilSarkosilat dan Natrium Mirazol
III. Sifat - sifat Sabun dan Detergen
A.
Sifat-sifat Sabun :
1.
Sabun adalah garam alkali dari asam lemak suku tinggi
sehingga akan dihidrolisis parsial oleh air. Karena itu larutan sabun dalam air
bersifat basa.
CH3(CH2)16COONa + H2O
CH3(CH2)16COOH + OH-
2. Jika larutan
sabun dalam air diaduk maka akan menghasilkan buih, peristiwa ini tidak akan
terjadi pada air sadah. Dalam hal ini sabun dapat menghasilkan buih setelah
garam-garam Mg atau Ca dalam air mengendap.
CH3(CH2)16COONa + CaSO4
Na2SO4 + Ca(CH3(CH2)16COO)2
3. Sabun
mempunyai sifat membersihkan.
Sifat ini disebabkan proses kimia koloid, sabun (garam
natrium dari asam lemak) digunakan untuk mencuci kotoran yang bersifat polar
maupun non polar, karena sabun mempunyai gugus polar dan non polar. Molekul
sabun mempunyai rantai hydrogen CH3(CH2)16
yang bersifat hidrofobik (tidak suka air) dan larut dalam zat organic sedangkan
COONa+ bersifat hidrofilik
(suka air) dan larut dalam air.
1. R- ( non
polar dan Hidrofobik )
Membelah molekul minyak dan kotoran menjadi partikel yang lebih kecil
sehingga air mudah membentuk emulsi dengan kotoran dan mudah dipisahkan
2. -C-O- (
polar dan Hidrofilik )
Larut dalam air membentuk buih dan mengikat partikel – partikel kotoran
sehingga terbentuk emulsi.
B.
Sifat-sifat Detergen
Sifat fisis dan kimia detergen
1. Fisis
a. Ujung non
polar : R – O (hidrofob)
b. Ujung polar
: SO3Na (hidrofil)
2. Kimia
a. Dapat
melarutkan lemak
b. Tak
dipengaruhi kesadahan air
Sifat fisis detergen antara lain memiliki ujung non
polar yang berupa R - O (hidrofob) dan ujung polar yang berupa SO3Na
(hidrofil). Angka penyabunan menunjukkan berat molekul lemak dan minyak secara
kasar .Minyak yang disusun oleh asam lemak berantai karbon yang pendek berarti
mempunyai berat molekul yang relatif kecil, akan mempunyai angka penyabunan
yang besar dan sebaliknya bila minyak mempunyai berat molekul yang besar ,maka
angka penyabunan relatif kecil . Angka penyabunan ini dinyatakan sebagai
banyaknya (mg) NaOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan satu gram lemak atau
minyak.
IV. Efek terhadap Lingkungan secara Umum Khususnya pada
Kesehatan Manusia
Deterjen biasanya menggunakan Jenis
surfaktan alkylbenzene sulphonate (ABS) yang bersifat resisten terhadap
dekomposisi biologis. Hal ini bisa berarti jika ABS atau alkilbenzene sulfonat
ini sukar diuraikan secara biologis oleh bakteri. Dewasa ini, surfaktan jenis
ABS telah digantikan oleh linear alkyl sulphonate (LAS) yang dapat diuraikan
oleh bakteri secara biologis (biodegradeble). LAS memiliki tingkat biodegradasi
sebesar 90% sedangkan ABS hanya sebesar 50-60%. Surfaktan juga memiliki dampak
negatif antara lain :
A.
Mengganggu transfer gas di dalam sel.
Jika surfaktan bereaksi dengan sel
dan membran sel maka surfaktan akan menganggu pertukaran gas yang berlangsung
antar sel. Pertukaran oksigen yang tidak berlangsung dengan lancar akan
mengakibatkan pertumbuhan sel terhambat.
B.
Surfaktan dapat menyebabkan permukaan kulit kasar,
hilanganya kelembaban alami kulit, dan meningkatkan permeabilitas permukaan
luar.
C.
Derajat keasaman (pH) deterjen yang tinggi
Menyebabkan
tangan iritasi (panas, gatal, dan mengelupas).
Selain
surfaktan deterjen juga mengandung builder (bahan pembentuk). Builder berfungsi
meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan cara menon-aktifkan
mineral penyebab kesadahan air. Contoh dari builder adalah Sodium tri poly
phosphate (STPP), Nitril tri acetate (NTA), Ethylene diamine tetra acetate
(EDTA), zeolit, dan asam sitra. Air yang
mengandung fosfat dapat menyebabkan keracunan apabila terminum oleh manusia.
Menurut Damin Sumardjo (2008: 630),
persenyawaan fosfat anorganik yang dipakai sebagai builder (bahan pengawet
busa) ternyata dapat mencemari air seperti persenyawaan fosfat anorganik yang
terdapat pada pupuk. Pencemaran ini membuat air disungai menjadi bau. Bau busuk
ini berasal dari gas NH3 dan H2S yang berasal dari
peruraian bakteri anaerob. Air sungai yang tercemar sulit dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari.
Dampak yang
ditimbulkan akibat limbah detergen :
A. Air sungai
yang tercemar limbah deterjen berakibat buruk bagi flora dan fauna yang hidup
di sungai.
B. Ikan dan
tumbuhan yang ada di sungai dapat mati karena ekosistem tempat hidup mereka
tercemar.
C. Zat yang
terdapat dalam limbah deterjen dapat memacu pertumbuhan eceng gondok dan gulma
air sehingga dapat mengakibatkan ledakan jumlah tanaman tersebut.
Ledakan jumlah tanaman tersebut akan mengakibatkan
pendangkalan dan menyumbat aliran air sungai. Tanaman yang menutupi permukaan
air akan menghambat masuknya sinar matahari dan oksigen ke air. Hal ini akan
berdampak pada kualitas air dan ikan-ikan menjadi sulit untuk bertahan hidup.
D. Penelitian
juga menunjukkan bahwa deterjen mempunyai pengaruh terhadap flora dan fauna
yang hidup di sungai. Deterjen anionik bersifat lebih toksik terhadap udang air
(Gammarus polex) dibandingkan dengan deterjen kationik atau nonionik. Sedangkan
ikan lebih sensitif terhadap pengaruh deterjen nonionik atau deterjen kationik
dibandingkan dengan deterjen anionik (Damin Sumardjo, 2008: 631).
E. Deterjen
dapat membentuk banyak busa dalam air dan banyak jenis deterjen sukar sekali
diuraikan oleh enzim-enzim bakteri pengurai sehingga akan tetap utuh dan
berbusa.
F. Limbah
deterjen yang tidak dapat diurai dalam waktu yang singkat ini menyebabkan
polusi udara karena baunya yang tidak sedap.
Menurut Petra Widmer dan Heinz Frick
(2007: 42), deterjen terurai dalam hitungan minggu hingga bulanan sedangkan
persyaratan ekolabel memberikan jangka waktu peruraian limbah deterjen di
lingkungan alam hanya dua hari.
G. Deterjen
dalam air buangan dapat meresap ke air tanah atau sumur-sumur di masyarakat.
Air yang tercemar limbah deterjen tidak baik bagi kesehatan karena dapat
menyebabkan kanker. Kanker ini diakibatkan oleh menumpuknya surfaktan di dalam
tubuh manusia.
Bahan lain
yang terkandung dalam deterjen adalah filler (pengisi). Filler adalah bahan tambahan
deterjen yang tidak mempunyai kemampuan meningkatkan daya cuci, tetapi menambah
kuantitas. Contoh Sodium sulfat. Sedangkan aditif adalah bahan
suplemen/tambahan untuk membuat produk lebih menarik, misalnya pewangi,
pelarut, pemutih, pewarna. Bahan aditif ini sebenarnya tidak berhubungan
langsung dengan daya cuci deterjen. Aditif ditambahkan untuk komersialisasi
produk/agar produk dapat menarik perhatian konsumen. Contoh dari aditif adalah
enzim, boraks, Natrium klorida, Carboxy methyl cellulose (CMC). Sayangnya
diantara zat-zat tersebut ada yang tak bisa dihancurkan oleh mikroorganisme
sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan. Limbah detergen juga menyebabkan
pencemaran tanah yang menurunkan kualitas kesuburan tanah yang mengakibatkan
tanaman serta hidupan tanah termasuk cacing mati. Padahal cacing berfungsi
untuk menguraikan limbah organik, non organik & menyuburkan tanah.
V. Penetapan Kadar Detergen dan Sabun dalam Air
A.
Parameter Penetapan Kadar Detegen dan Sabun :
Parameter-parameter yang dilakukan untuk mengetahui kualitas dari deterjen
adalah sebagai berikut:
1. Fisik
Uji ini merupakan uji tampilan fisik dari powder deterjen dan kesesuaian
penggunaan jenis bahan aditif seperti speckle atau needle dalam deterjen.
2. Odour
Uji ini merupakan uji terhadap kesesuaian dan kecukupan penggunaan parfum
dalam deterjen. Uji ini dilakukan dengan menggunakan indera penciuman.
3. Whiteness
Uji fisik untuk menentukan kecerahan warna powder pada deterjen. Uji ini
dilakukan dengan menggunakan alat whiteness.
4. BD (Bulk Density)
Berat jenis dari deterjen ditetapkan menggunakan alat BD (Bulk Density).
5. MC (Moisture
Content)
Uji ini merupakan penentuan kadar air yang terdapat dalam deterjen yang
diuji menggunakan alat MC (Moisture Content) yang telah diset pada suhu 105 ºC .
6. TR
(Temperature Rise)
TR adalah uji kenaikan temperatur saat deterjen dilarutkan di dalam air.
Temperatur yang diukur adalahdelta (Δ) dari perubahan suhu yang terjadi antara
suhu deterjen yang dilarutkan dalam air-suhu air.
7. Karbonat
Penentuan karbonat ini dapat dilakukan melalui dua metode yaitu metode
titrasi dan metode gas.Namun, metode yang digunakan adalah metode gas. Karbonat
juga memegang peranan yang cukup penting dalam menyangga pH dari deterjen.
8. Total Fosfat
Total fosfat yang terkandung dalam deterjen ini ditetapkan dengan
menggunakan instrumen skalar dengan prinsip spektrofotometri. Total fosfat yang
digunakan adalah dalam bentuk senyawa STPP (Sodium Tripoly Phospate) yang
berguna untuk mengikat ion-ion penyebab kesadahan air pada deterjen. Umumnya
fosfat yang digunakan dalam deterjen berkisar antara 30-50 %.
9. Aktif
deterjen
Aktif deterjen merupakan salah satu parameter terpenting dalam penentuan
kualitas deterjen karena aktif deterjen adalah zat yang menentukan proses
pembersihan pada deterjen. Aktif deterjen ditentukan dengancara titrasi
menggunakan metode hiamin.
10. Aktivitas
enzim
Aktivitas enzim dalam deterjen ditentukan dengan menggunakan metode
spektrofotometri dari instrumen Konelab. Penggunaan enzim dalam deterjen dapat
meningkatkan daya kerja deterjen.
B.
Penetapan Kadar Sufraktan :
Surfaktan yang berperan sebagai aktif deterjen (LAS) yang terkandung dalam
deterjen adalah kadar yang diukur sebagai aktif deterjen.
Reaksi yang terjadi dalam penetapan aktif deterjen adalah sebagai berikut:
R’-SO3- Na+ + R4N+ Cl-
à R’-SO3NR4 + NaCl
Keterangan:
R’ : Rantai
cabang
R4N+
: Hiamin Ion
Analisis aktif deterjen dapat dilakukan melalui beberapa metode,
diantaranya:
1. Metode
Metilen Biru
Metode ini
membahas tentang perpindahan metilen biru yaitu larutan kationik dari larutan
air ke dalam larutan organik yang tidak dapat campur dengan air sampai pada
titik jenuh (keseimbangan). Hal ini terjadi melalui formasi (ikatan) pasangan
ion antara anion dari MBAS (methylene blue active substances) dan kation dari
metilen biru. Intensitas warna biru yang dihasilkan dalam fase organik
merupakan ukuran dari MBAS (sebanding dengan jumlah surfaktan).
Surfaktan
anion adalah salah satu dari zat yang paling penting, alami dan sintetik yang
menunjukkan aktifitas dari metilen biru. Metode MBAS berguna sebagai penentuan
kandungan surfaktan anion dari air dan limbah, tetapi kemungkin adanya bentuk
lain dari MBAS (selain interaksi antara metilen biru dan surfaktan anion) harus
selalu diperhatikan.
Metode ini
relatif sangat sederhana dan pasti. Inti dari metode MBAS ini ada 3 secara
berurutan yaitu: Ekstraksi metilen biru dengan surfaktan anion dari media
larutan air ke dalam kloroform (CHCl3) kemudian diikuti terpisahnya antara fase
air dan organik dan pengukuran warna biru dalam CHCl3 dengan menggunakan alat
spektrofotometri pada panjang gelombang 652 nm (Franson, 1992). Batas deteksi
surfaktan anion menggunakan pereaksi pengomplek metilen biru sebesar 0,026 mg/L,
dengan rata-rata persen perolehan kembali 92,3% (Rudi dkk., 2004).
Prosedur
Kerja
a.
Pembuatan Kurva Kalibrasi
1)
Larutan induk detergent diambil sebanyak 0, 250, 500,
750 dan 1000 mL dan dimasukkan ke dalam labu ukur 500 mL, ditambahkan air
suling hingga tanda tera, kemudian diaduk hingga homogen. Diperoleh kadar 0,00;
0,2; 0,4; 1,0; 1,2 dan 2,0 mg/L MBAS.
2)
Larutan baku diambil dengan volum masing – masing 100
mL dan dimasukkan ke dalam corong pemisah 30 mL.
3)
Ditambahkan larutan biru methylene sebanyak 25mL.
4)
Ditambahkan 10 mL CHCl3 , digojog kuat – kuat selama
30 detik , sekali kali buka tutup corong untuk mengeluarkan gas.
5)
Didiamkan hingga terjadi pemisahan fase, corong
pemisah digoyang perlahan-lahan, jika terbentuk emulsi, tambahkan sedikit
isopropil alkohol (10 mL), lapisan bawah (CHCl3) dikeluarkan dan
ditampung dalam corong pemisah lain.
6)
Ekstraksi diulangi seperti butir 4 dan 5 sebanyak 2
kali dan larutan ekstrak digabung dengan larutan ekstrak pada butir 5.
7)
Ditambahkan 50 mL larutan pencuci ke dalam larutan ekstrak
(kloroform gabungan) dan digojog kuat – kuat selama 30 detik.
8)
Didiamkan sampai terjadi pemisahan fase, corong
digoyangkan perlahan – lahan, lapisan bawah (Chloroform) dikeluarkan melalui
serabut kaca, dimasukkan ke dalam labu ukur (jaga agar lapisan air tidak
terbawa).
9)
Ekstraksi diulangi terhadap larutan pencuci dengan
kloroform seperti butir 4 dan 5 sebanyak 2 kali.
10) Serabut kaca
dicuci dengan kloroform sebanyak 5 mL dan digabung dengan larutan ekstrak
diatas.
11) Larutan
ekstrak dimasukkan kedalam labu ukur 50 mL dan ditambahkan kloroform sampai
tanda tera.
12) Larutan
ekstrak dimasukkan kedalam cuvet pada alat spektrofotometer , dibaca dan
dicatat absorbansinya pada panjang gelombang 652 nm, pembacaan dilakukan tidak
lebih dari 3 jam setelah ektraksi.
13) Apabila
perbedaan hasil pengukuran serapan masuk secara duplo lebih besar dari 2%
periksa alat dan ulangi pekerjaan dari langkah awal, apabila lebih kecilatau
sama dengan 2% , rata – ratakan hasil.
14) Kurva
kalibrasi dibuat dari data 13 dan ditentukan persamaan garisnya.
b.
Prosedur Uji Kadar Surfaktan
1)
Sampel diambil masing – masing 100 mL dan dimasukkan
ke dalam corong pemisah 500 mL.
2)
Ditambahkan larutan biru methylene sebanyak 25 mL.
3)
Ditambahkan 50 mL kloroform , digojog kuat – kuat
selama 30 detik , sekali kali buka tutup corong untuk mengeluarkan gas.
4)
Didiamkan hingga terjadi pemisahan fase, corong
pemisah digoyangkan perlahan – lahan.
5)
Ditambahkan 50 mL larutan pencuci ke dalam larutan
ekstrak (kloroform gabungan) dan digojog kuat – kuat selama 30 detik.
6)
Didiamkan sampai terjadi pemisahan fase, digoyang
perlahan – lahan , lapisan bawah (kloroform) dikeluarkan melalui serabut kaca,
dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 mL (jaga agar lapisan air tidak terbawa).
7)
Larutan ekstrak dimasukkan ke dalam kuvet pada alat
spektrofotometer , dibacan dan dicatat absorbansinya pada panjang gelombang 652
nm, pembacaan dilakukan tidak lebih dari 3 jam setelah ektraksi.
2. Metode
Potensiometri
Metode ini berdasarkan pada terjadinya kesetimbangan tegangan pada dua
larutan (two potentiometric equivalence points). Kesetimbangan pertama terjadi
ketika asam sulfonat ternetralisasi bersama dengan terputusnya asam sulfat.
Kesetimbangan kedua ternetralisasinya asam sulfat. Dimana kadar dari sulfat dan
asam sulfonat dapat ditentukan dan keasaman (total acidity) dihitung sebagai mg
KOH/g yang dibutuhkan untuk menetralkannya. Analisa ini hanya dapat dilakukan
pada surfaktan yangmempunyai kadar air maksimum 2 %.
3. Metode
Hiamin
Prinsip dasar dari metode ini adalah Dimidium bromida yang bereaksi dengan
anionik surfaktan menghasilkan garam yang larut dalam diklorometana dan
membentuk larutan warna merah muda. Kelebihan dari hiamin bereaksi dengan
disulphin blue lalu menghasilkan garam yang juga larut dalam diklorometana
membentuk larutan berwarna biru.
4. Metode Spektrofotometer
UV-Vis
Prinsipnya adalah surfaktan anion akan berikatan dengan metilen biru
membentuk senyawa kompleks berwarna biru yang larut dalam fase kloroform ketika
diekstraksi dan dibaca konsentrasinya menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada
panjang gelombang 675 nm.
Absorbansi suatu zat menunjukkan kemampuan dari zat tersebut untuk menyerap
radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang maksimum. Konsentrasi adalah
jumlah zat terlarut dalam setiap satuan larutan atau pelarut. Absorbansi yang
dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi larutan standar yaitu semakin
besar konsentrasi yang digunakan, maka absorbansinya juga semakin besar.
Setelah dilakukan penentuan kurva kalibrasi larutan standar MBAS maka
didapatkan nilai regresi. Regresi dapat digunakan untuk analisis jika nilai
regresi tersebut mendekati 1 atau > 0,95 maka dapat dikatakan bahwa hasil
dari pembuatan larutan standar memiliki tingkat keakuratan yang baik.
Dilakukan penentuan kadar MBAS dalam air limbah sehingga diperoleh data
konsentrasi MBAS dalam sampel. Dari data tersebut kemudian dilakukan standar
pengujian atau IQC (Internal Quality Control) yaitu dengan menghitung harga RPD
dan Recoverinya ini merupakan standar pengujian yang diberlakukan di
laboratorium BBTPPI. Penghitungan Recovery dilakukan untuk mengetahui tingkat
keakuratan data yang diperoleh pada kesesuaian antara hasil uji dengan
perolehan kembali dari standar yang ditambahkan agar mengetahui efek matriks
pada sampel yang dapat dikatakan sebagai tingkat akurasi, sedangkan RPD dibuat
untuk mengetahui presisi atau ketelitian data yang diperoleh pada pengukuran
sampel, presisi yang baik akan memberikan standar deviasi yang kecil dan bias
yang rendah (Tahrir, 2008).
Dalam analisis penentuan kadar surfaktan anion diperoleh hasil bahwa kadar surfaktan anion
atau deterjen pada semua sampel limbah yang dianalisis masih memenuhi baku mutu
yang telah ditetapkan oleh Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 10 Tahun
2004, yakni dibawah 5 mg/L air limbah.
VI. Penanganan
Adanya limbah sabun dan detergen
menyebabkan pencemaran pada air yang kita gunakan sehari-hari, sehingga
akumulasi limbah menyebabkan meningkatnya COD, BOD, dan permangant. Pengelolaan
yang tepat adalah menggunakan teknik biologi. Seperti yang telah kita ketahui
bahwa peningkatan kadar COD, BOD, ataupun permanganat ada hubungannya dengan
mikroorganisme yang ada didalamnya.
Limbah sabun atau detergen hendaknya
tidak dibuang pada pembuangan septik tank, karena limbah dapat menghambat
pertumbuhan bakteri pembusuk pada septik tank. Cara paling sederhana untuk
menampung limbah-limbah tersebut yaitu pada suatu tempat penampung atau selokan
yang pada tempat tersebut ditanami tanaman air yang dapat menyerap zat pencemar
seperti: jaringao, Pontederia cordata (bunga ungu), lidi air, futoy
ruas, Thypa angustifolia (bunga coklat), melati air, dan lili air.
Akan tetapi cara ini sederhana karena tanaman air memiliki batas kemampuan
untuk menyerap zat pengotor, selain itu juga tidak bisa menyerap lemak dan
sampah dapur yang ikut terbuang.
Selain limbah yang kita olah, dari kita
sendiri pun harus tetap memperhatikan gaya hidup yang kita lakukan untuk
meminimalisir limbah sabun maupun
detergen yang kita hasilkan, diantaranya :
1.
Menggunakan
sabun dan detergen secukupnya.
2.
Memilih selektif
sabun dan detergen yang akan kita gunakan.
3.
Membuang limbah
sabun dan detergen tidak sembarangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar